Rabu, 06 November 2019

MAYOR BISMO



Monumen Mayor Bismo di Alun - Alun Kediri

Pendahuluan
15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito meyatakan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat (Sekutu). Berita kekalahan Jepang tersebut didengar pula oleh aktivis – aktivis pemuda Indonesia yang kemudian medesak Sekarno – Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia dari pendudukan Jepang. 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dikumandangkan.
Pihak penguasa militer pedudukan Jepang di Indonesia mengambil sikap menjaga ketertiban, menunggu pasukan sekutu datang dan meyerah secara militer, serta melucuti senjata secara lengkap. 16 Agustus 1945 rapat staf Komando dilaksanakan terkait berita pernyataan Kaisar. Sambil menunggu datangya surat resmi, peserta rapat sepakat untuk menjaga ketertiban, dan keamanan warga Jepang di daerah pendudukan. Selain itu disepakati pula untuk pembubaran seluruh badan pasukan cadangan militer. 17 Agustus 1945 perintah dikeluarkan, seluruh badan pasukan cadangan militer Jepang di daerah pendudukan dibubarkan, terutama PETA, Haiho, Seinendan, Keibodan dan Tokubetsu Keitsatsu Tai serta melucuti persenjataan mereka, namun teknis pelaksanaan pada kesatuan-kesatuan dilaksanakan tiga hari setelah perintah dikeluarkan.[1]

Perjuangan Mayor Bismo
Kata-kata mutiara dari Mayor Bismo
Berita Proklamasi kemerdekaan bangsa Indoesia dan perintah Pembubaran serta pelucutan senjata pasukan cadangan militer Jepang tidak lah berbarengan sampai kepada kesatuan-kesatuan di daerah. Seakan-akan kedua informasi tersebut berlomba-lomba sampai terlebih kepada kesatua-kesatuan militer di pelosok daerah. Pada 19 Agustus 1945, kesatuan – kesatuan PETA dan Heiho Jawa bagian Barat secara seremonial resmi dibubarkan dan berhasil dilucuti.[2] Namun kondisi tersebut berbeda jauh dengan kesatuan - kesatuan di Jawa bagian Timur, terutama di Karesidenan Kediri. 19 Agustus 1945 siang Pelucutan senjata pihak Jepang di Kediri gagal total. Hal tersebut dikarenakan kesatuan-kesatuan PETA, Haiho, dan Tokubetsu Keitsatsu Tai telah bersepakat untuk mendukung mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, yang telah diproklamasikan Sekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Sebelumnya, Shudanco Bismo setelah medengarkan siaran radio terkait Proklamasi Kemerdekaan diikrarkan Sekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, segera mengkoordiasikan sikap komandan-komandan PETA Kediri, terutama persetujuan Daidanco Soerahmat. Rapat koordinasi bersama dari berbagai elemen masyarakat Kediri dilaksanakan di Sekolah Taman Siswa (Jl. Pemuda no. 16 Kediri), Shudanco Bismo menginformasikan Proklamasi Kemerdekaan diikrarkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 dan kondisi pemerintahan pendudukan Jepang kepada seluruh hadirin. Selain itu Shudanco Rustamadji mengadakan rapat pula dengan nito keibu R. Soedarman di markas Tokubetsu Keitsatsu Tai (Polisi)[3].[4] Kemudian setelah dikoordinasikan dengan Syucokan Kediri, R. Abdulrahim Pratalykrama[5], beliau pun medukung dengan melaksanakan rapat besar secara resmi di gedung Societeit Phoenix (Gedung GNI lama). 
19 Agustus 1945 malam hari, rapat bersama antar kesatuan-kesatuan cadangan digelar, dan disepakati malaksanakan pengepungan dan pelucutan senjata ke pos-pos militer tentara Jepang di Kediri. 20 Agustus 1945, sehari setelah pelucutan senjata kesatuan-kesatuan cadangan gagal, ganti pos- pos militer tentara Jepang dilucuti masyarakat Kediri yang dipelopori eks kesatuan-kesatuan cadangan PETA, Haiho, Seiendan, Keibodan dan Tokubetsu Keitsatsu Tai. Pelucutan senjata dimulai dari gudang Kantor polisi Karesiden, kemudian mengepung markas Kempetai. [6] Dari eks PETA dipimpin oleh Shudanco Bismo, dari pihak eks Tokubetsu Keitsatsu Tai dipimpin junsa bucho Miran. Pelucutan senjata di markas kempetai sangat alot dan terjadi perlawanan sengit, sehingga Syucokan Kediri, R. Abdulrahim Pratalykrama perlu turun tangan untuk bernegosiasi dengan pimpinan tentara Jepang. Akhirnya kesepakatan ditentukan, pihak Jepang meyerah dan mempersilahkan pengibaran bendera merah putih menggantikan bendera Hinomaru, serta seluruh senjata pasukan Jepang diserahkan kepada pihak Republik.[7] Shudanco Bismo segera membagi-bagikan senjata kepada pejuang-pejuang Republik.
Keberhasilan misi memobilisasi massa pada awal berita proklamasi kemerdekaan dan kesuksesan pelucutan senjata tetara Jepang di Kediri, menjadikan Shudanco Bismo salah satu pejuang yang disegani lawan maupun kawan. Setelah maklumat pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945 diputuskan, kepiawaian Kapten Bismo tersebut menjadikan beliau dipercaya sebagai Komandan Batalyon Sadhi Yudha, di bawah Brigade S Karesidenan Kediri, begitu pula setelah maklumat 5 Oktober 1945 dimana BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Salah satu jasa besar Kapten Bismo pada awal kemerdekaan adalah menjadikan Brigade S Karesidenan Kediri sebagai Brigade paling kuat, dan paling lengkap persenjataanya dibandingkan Brigade-brigade di daerah lain. Dapat dibandingkan, jika secara nasional persenjataan BKR-TKR pada awal kemerdekaan berbandiang 1 : 3 (1 senjata untuk 3 tetara), sedangkan pada Brigade S sudah 1:1 (1 senjata untuk 1 tentara).[8]

Gugurnya Mayor Bismo
Pada tahun 1948, Presiden Soekarno menyetujui pelaksanaan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) ditubuh Militer yang di ajukan kabinet Perdana Menteri Moh. Hatta. Salah satu kebijakan turunannya adalah di Jawa hanya akan dibagi menjadi 4 Divisi, dan Jawa Timur menjadi Divisi I. Semetara polemik penunjukan Panglima Divisi I berlangsung, dibentuk dahulu Staf Pertahanan Djawa Timur (SPDT) Divisi I. Dari Brigade S, dipilih dua orang untuk menjadi staf SPDT yang berkantor di Madiun, yaitu Kapten Bismo sebagai Kepala Staf I dan Kapten  Kartidjo sebagai kepala Staf III. Namun naas, 18 September 1948, terjadi Pemberontakan kaum Komunis di Madiun. Seluruh anggota SPDT yang baru terbentuk di tahan dan di eksekusi oleh simpatisan pemberontak, Kapten Kartijo berhasil menyelamatkan diri, namun Kapten Bismo gugur sebagai tumbal mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.[9] Sebagai gelar terakhir beliau diaugerahkan gelar Mayor, dan hingga kini kita mengenalnya sebagai Mayor Bismo.
Atas jasa – jasa nya sebagai pejuang yang mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, maka pada 17 Desember 1974 diresmikanlah Monumen Mayor Bismo di Alun – Alun Kota Kediri. monumen tersebut diresmikan dan di bubuhi tanda tangan oleh Wali Kota Kediri Drs. Soedarmanto, Bupati Kediri Letkol Siswo Harjoko, dan Pangdam VIII Brawijaya, Mayor Jenderal Widjojo Soejono.
Di atas tanda tangan Walikota Kediri dan Bupati Kediri dituliskan sebuah kata-kata sebagai berikut:

“Monumen ini diabadikan kepada Generasi2 Yad[10]
Sebagai pewaris nilai2 perjuangan 1945

Atas nama masyarakat Daerah Kabupaten dan Kotamadya Kediri
Walikota Kepala Daerah                                 Bupati Kepala Daerah


Drs. Soedarmanto                                             Letkol Siswo Harjoko”


Daftar Rujukan:
Miyamoto, dalam Rahardjo, Pamoe. 1993. Tentara Peta (Pembela Tanah Air) : Mengawali Proklamasi 17 Agustus 1945 Mulai dari Rengasdengklok. Jakarta: YAPETA
Dahlan, Halwi. 2017. Konfrontasi Republik Indonesia dengan Militer Jepang Menjelang Masuknya Sekutu 1945-1946. Patanjala. Bandung. BPNB Jawa Barat.
Yauwerissa, L & Pusat Sejarah POLRI. 2013. Pasukan Polisi Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo
Soerahmad, Soejoedi. 2000. Soerahmad: Profil Seorang Prajurit Pejuang. Jakarta: Millenium Publisher

*Penulis : Novi BmW, Kediri, 05/11/2019

[1] Miyamoto, dalam Rahardjo, Pamoe. 1993. Tentara Peta (Pembela Tanah Air) : Mengawali Proklamasi 17 Agustus 1945 Mulai dari Rengasdengklok. Jakarta: YAPETA, hlm. 119
[2] Dahlan, Halwi. 2017. Konfrontasi Republik Indonesia dengan Militer Jepang Menjelang Masuknya Sekutu 1945-1946. Patanjala. Bandung. BPNB Jawa Barat. hlm. 71
[3] Gedung di area Pengadilan Negeri Kediri, seberanng LAPAS Mojoroto, rapat koordinasi gabungan antara PETA dan Tokubetsu Keitsatsu Tai persiapan pelucutan senjata
[4] Yauwerissa, L & Pusat Sejarah POLRI. 2013. Pasukan Polisi Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo, hlm.44
[5] Syucokan / residen Kediri, R. Abdulrahim Pratalikrama selain sebagai Residen Kediri masa pendudukan Jepang,, beliau juga merupakan salah satu dari 60 aggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
[6] Sekarang menjadi kompleks ruko Jl. Brawijaya, di barat SD Katolik St. Maria Kota Kediri.
[7] ibid, hlm.45
[8] Soerahmad, Soejoedi. 2000. Soerahmad: Profil Seorang Prajurit Pejuang. Jakarta: Millenium Publisher, hlm.26-28
[9] ibid,hlm.58-63
[10] “Yad” singkatan dari Yang Akan Datang