Monumen Mayor Bismo di Alun - Alun Kediri |
Pendahuluan
15 Agustus
1945, Kaisar Hirohito meyatakan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat
(Sekutu). Berita kekalahan Jepang tersebut didengar pula oleh aktivis – aktivis
pemuda Indonesia yang kemudian medesak Sekarno – Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan
bangsa Indonesia dari pendudukan Jepang. 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan
bangsa Indonesia dikumandangkan.
Pihak
penguasa militer pedudukan Jepang di Indonesia mengambil sikap menjaga
ketertiban, menunggu pasukan sekutu datang dan meyerah secara militer, serta
melucuti senjata secara lengkap. 16 Agustus 1945 rapat staf Komando
dilaksanakan terkait berita pernyataan Kaisar. Sambil menunggu datangya surat
resmi, peserta rapat sepakat untuk menjaga ketertiban, dan keamanan warga
Jepang di daerah pendudukan. Selain itu disepakati pula untuk pembubaran
seluruh badan pasukan cadangan militer. 17 Agustus 1945 perintah dikeluarkan,
seluruh badan pasukan cadangan militer Jepang di daerah pendudukan dibubarkan,
terutama PETA, Haiho, Seinendan, Keibodan dan Tokubetsu Keitsatsu Tai serta melucuti persenjataan mereka, namun teknis
pelaksanaan pada kesatuan-kesatuan dilaksanakan tiga hari setelah perintah
dikeluarkan.[1]
Perjuangan Mayor Bismo
Kata-kata mutiara dari Mayor Bismo |
Berita
Proklamasi kemerdekaan bangsa Indoesia dan perintah Pembubaran serta pelucutan
senjata pasukan cadangan militer Jepang tidak lah berbarengan sampai kepada
kesatuan-kesatuan di daerah. Seakan-akan kedua informasi tersebut berlomba-lomba
sampai terlebih kepada kesatua-kesatuan militer di pelosok daerah. Pada 19 Agustus 1945, kesatuan – kesatuan
PETA dan Heiho Jawa bagian Barat secara seremonial resmi dibubarkan dan
berhasil dilucuti.[2]
Namun kondisi tersebut berbeda jauh dengan kesatuan - kesatuan di Jawa bagian
Timur, terutama di Karesidenan Kediri. 19 Agustus 1945 siang Pelucutan senjata
pihak Jepang di Kediri gagal total. Hal tersebut dikarenakan kesatuan-kesatuan
PETA, Haiho, dan Tokubetsu Keitsatsu Tai telah bersepakat untuk mendukung
mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, yang telah diproklamasikan Sekarno-Hatta
pada 17 Agustus 1945.
Sebelumnya, Shudanco Bismo setelah medengarkan
siaran radio terkait Proklamasi Kemerdekaan diikrarkan Sekarno-Hatta pada 17
Agustus 1945, segera mengkoordiasikan sikap komandan-komandan PETA Kediri, terutama
persetujuan Daidanco Soerahmat. Rapat koordinasi bersama dari berbagai elemen
masyarakat Kediri dilaksanakan di Sekolah Taman Siswa (Jl. Pemuda no. 16
Kediri), Shudanco Bismo
menginformasikan Proklamasi Kemerdekaan diikrarkan Soekarno-Hatta pada 17
Agustus 1945 dan kondisi pemerintahan pendudukan Jepang kepada seluruh hadirin.
Selain itu Shudanco Rustamadji
mengadakan rapat pula dengan nito keibu
R. Soedarman di markas Tokubetsu
Keitsatsu Tai (Polisi)[3].[4]
Kemudian setelah dikoordinasikan dengan Syucokan
Kediri, R. Abdulrahim Pratalykrama[5], beliau pun medukung
dengan melaksanakan rapat besar secara resmi di gedung Societeit Phoenix (Gedung GNI lama).
19 Agustus
1945 malam hari, rapat bersama antar kesatuan-kesatuan cadangan digelar, dan
disepakati malaksanakan pengepungan dan pelucutan senjata ke pos-pos militer
tentara Jepang di Kediri. 20 Agustus 1945, sehari setelah pelucutan senjata
kesatuan-kesatuan cadangan gagal, ganti pos- pos militer tentara Jepang
dilucuti masyarakat Kediri yang dipelopori eks kesatuan-kesatuan cadangan PETA,
Haiho, Seiendan, Keibodan dan Tokubetsu
Keitsatsu Tai. Pelucutan senjata dimulai dari gudang Kantor polisi
Karesiden, kemudian mengepung markas Kempetai. [6]
Dari eks PETA dipimpin oleh Shudanco
Bismo, dari pihak eks Tokubetsu Keitsatsu
Tai dipimpin junsa bucho Miran. Pelucutan
senjata di markas kempetai sangat
alot dan terjadi perlawanan sengit, sehingga Syucokan Kediri, R. Abdulrahim Pratalykrama perlu turun tangan
untuk bernegosiasi dengan pimpinan tentara Jepang. Akhirnya kesepakatan
ditentukan, pihak Jepang meyerah dan mempersilahkan pengibaran bendera merah
putih menggantikan bendera Hinomaru,
serta seluruh senjata pasukan Jepang diserahkan kepada pihak Republik.[7] Shudanco Bismo segera membagi-bagikan
senjata kepada pejuang-pejuang Republik.
Keberhasilan
misi memobilisasi massa pada awal berita proklamasi kemerdekaan dan kesuksesan
pelucutan senjata tetara Jepang di Kediri, menjadikan Shudanco Bismo salah satu pejuang yang disegani lawan maupun kawan.
Setelah maklumat pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945
diputuskan, kepiawaian Kapten Bismo tersebut menjadikan beliau dipercaya
sebagai Komandan Batalyon Sadhi Yudha, di bawah Brigade S Karesidenan Kediri, begitu
pula setelah maklumat 5 Oktober 1945 dimana BKR berubah menjadi Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Salah satu jasa besar Kapten Bismo pada awal kemerdekaan adalah
menjadikan Brigade S Karesidenan Kediri sebagai Brigade paling kuat, dan paling
lengkap persenjataanya dibandingkan Brigade-brigade di daerah lain. Dapat
dibandingkan, jika secara nasional persenjataan BKR-TKR pada awal kemerdekaan
berbandiang 1 : 3 (1 senjata untuk 3 tetara), sedangkan pada Brigade S sudah
1:1 (1 senjata untuk 1 tentara).[8]
Gugurnya Mayor Bismo
Pada tahun
1948, Presiden Soekarno menyetujui pelaksanaan Rekonstruksi dan Rasionalisasi
(RERA) ditubuh Militer yang di ajukan kabinet Perdana Menteri Moh. Hatta. Salah
satu kebijakan turunannya adalah di Jawa hanya akan dibagi menjadi 4 Divisi,
dan Jawa Timur menjadi Divisi I. Semetara polemik penunjukan Panglima Divisi I
berlangsung, dibentuk dahulu Staf Pertahanan Djawa Timur (SPDT) Divisi I. Dari
Brigade S, dipilih dua orang untuk menjadi staf SPDT yang berkantor di Madiun,
yaitu Kapten Bismo sebagai Kepala Staf I dan Kapten Kartidjo sebagai kepala Staf III. Namun naas,
18 September 1948, terjadi Pemberontakan kaum Komunis di Madiun. Seluruh
anggota SPDT yang baru terbentuk di tahan dan di eksekusi oleh simpatisan
pemberontak, Kapten Kartijo berhasil menyelamatkan diri, namun Kapten Bismo
gugur sebagai tumbal mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.[9] Sebagai gelar terakhir
beliau diaugerahkan gelar Mayor, dan hingga kini kita mengenalnya sebagai Mayor
Bismo.
Atas jasa –
jasa nya sebagai pejuang yang mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia,
maka pada 17 Desember 1974 diresmikanlah Monumen Mayor Bismo di Alun – Alun
Kota Kediri. monumen tersebut diresmikan dan di bubuhi tanda tangan oleh Wali
Kota Kediri Drs. Soedarmanto, Bupati Kediri Letkol Siswo Harjoko, dan Pangdam
VIII Brawijaya, Mayor Jenderal Widjojo Soejono.
Di atas tanda
tangan Walikota Kediri dan Bupati Kediri dituliskan sebuah kata-kata sebagai
berikut:
“Monumen ini diabadikan kepada Generasi2
Yad[10]
Sebagai pewaris nilai2 perjuangan 1945
Atas nama masyarakat Daerah Kabupaten dan Kotamadya
Kediri
Walikota Kepala Daerah Bupati
Kepala Daerah
Drs. Soedarmanto Letkol
Siswo Harjoko”
Daftar Rujukan:
Miyamoto, dalam Rahardjo, Pamoe. 1993. Tentara Peta (Pembela Tanah Air) : Mengawali Proklamasi 17 Agustus 1945
Mulai dari Rengasdengklok. Jakarta: YAPETA
Dahlan, Halwi. 2017. Konfrontasi Republik Indonesia dengan Militer
Jepang Menjelang Masuknya Sekutu 1945-1946. Patanjala.
Bandung. BPNB Jawa Barat.
Yauwerissa, L & Pusat Sejarah POLRI. 2013. Pasukan Polisi Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan
di Jawa Timur. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo
Soerahmad, Soejoedi. 2000. Soerahmad:
Profil Seorang Prajurit Pejuang. Jakarta: Millenium Publisher
*Penulis : Novi BmW, Kediri, 05/11/2019
[1] Miyamoto, dalam Rahardjo,
Pamoe. 1993. Tentara Peta (Pembela Tanah
Air) : Mengawali Proklamasi 17 Agustus 1945 Mulai dari Rengasdengklok.
Jakarta: YAPETA, hlm. 119
[2] Dahlan, Halwi. 2017.
Konfrontasi Republik Indonesia dengan Militer Jepang Menjelang Masuknya Sekutu
1945-1946. Patanjala. Bandung. BPNB
Jawa Barat. hlm. 71
[3] Gedung di area Pengadilan
Negeri Kediri, seberanng LAPAS Mojoroto, rapat koordinasi gabungan antara PETA
dan Tokubetsu Keitsatsu Tai persiapan
pelucutan senjata
[4] Yauwerissa, L & Pusat
Sejarah POLRI. 2013. Pasukan Polisi
Istimewa: Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur.
Yogyakarta: Mata Padi Pressindo, hlm.44
[5] Syucokan / residen
Kediri, R. Abdulrahim Pratalikrama selain sebagai Residen Kediri masa
pendudukan Jepang,, beliau juga merupakan salah satu dari 60 aggota Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
[6] Sekarang menjadi kompleks
ruko Jl. Brawijaya, di barat SD Katolik St. Maria Kota Kediri.
[7] ibid, hlm.45
[8] Soerahmad, Soejoedi. 2000.
Soerahmad: Profil Seorang Prajurit
Pejuang. Jakarta: Millenium Publisher, hlm.26-28
[9] ibid,hlm.58-63
[10] “Yad” singkatan dari Yang
Akan Datang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar